Sejarah Kota Solo

Selasa, 02 November 2010

Sejarah Kota Surakarta bermula ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. Van Hohendorff untuk mencari lokasi Ibukota Kerajaan Mataram Islam yang baru. Mempertimbangan faktor fisik dan non fisik, akhirnya terpilih suatu desa di tepi Sungai Bengawan yang bernama desa Sala (1746 M atau 1671 Jawa). Sejak saat itu desa Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang pesat.

Adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 menyebabkan Mataram Islam terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan terpecah lagi dalam perjanjian Salatiga 1767 menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran.

DARI fakta sejarah kota Surakarta perkembangan Surakarta pada jaman dahulu sangat dipengaruhi oleh keberadaan pusat pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran, Benteng Vastenburg sebagai pusat pengawasan kolonial belanda terhadap Surakarta serta Pasar Gedhe Hardjonagoro (Thomas Kaarsten) sebagai pusat perekonomian kota.

Apabila dihubungkan akan membentuk kawasan budaya dengan Kraton Kasunanan sebagai intinya. Perkembangan kota selanjutnya berlangsung disekitar kawasan budaya ini.

 Kota solo adalah salah kota yang mempunyai 2(dua) nama Solo dan Surakarta....Sejarah kelahiran Kota Surakarta (Solo) dimulai pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono II di Kraton Kartosuro. Pada masa itu terjadi pemberontakan Masa Gerendi (Sunan Kuning) dibantu kerabat-kerabat Keraton yang tidak setuju dengan sikap Paku Buwono I yang mengadakan kerjasama dengan Belanda. Salah satu pendukung pemberontakan itu adalah Pangeran Sambernyowo (RM Said) yang merasa kecewa karena daerah Sukowati yang dulu diberikan oleh Keraton Kartosuro kepada ayahandanya dipangkas. Karena terdesak, Paku Buwono mengungsi ke daerah Jawa Timur (Pacitan dan Ponorogo).

Dengan bantuan pasukan Kumpeni dibawah pimpinan Mayor Baron van Hohendrof serta Adipati Bagus Suroto dari Ponorogo pemberontakan berhasil dipadamkan. Setlah itu Keratn Kartosuro dihancurkan Paku Buwono II lalu memerintahkan Tumenggung Wijil untuk mencari lokasi ibu kota Kerajaan yang baru.

Pada tahun 1745, dengan berbagai pertimbangan fisik dan supranatural, Paku Buwono II memilih desa Sala – sebuah desa di tepi sungai Bengawan Solo-sebagai daerah yang terasa tepat untuk membangun istana yang baru. Sejak saat itulah, desa Sala segera berubah menjadi Surakarta Hadiningrat.

Melihat perjalanan sejarah tersebut, nampak jelas bahwa perkembangan dan dinamika Surakarta (Solo) pada masa dahulu sangat dipengaruhi selain oleh Pusat Pemerintahan dan Budaya Keraton (Kasunanan dan Mangkunegaran), juga oleh kolonialisme Belanda (Benteng Verstenberg). Sedangkan pertumbuhan dan persebaran ekonomi melalui Pasar Gede (Hardjonagoro).

0 komentar:

Posting Komentar